matematika

Thursday, 17 October 2013

Sumpah (Serapah) Pejabat Negeri

KOMPAS.com - Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari keberadaan Istana Negara sebagai pusat pemerintahan, baik sejak era kolonial Belanda hingga saat ini. Banyak peristiwa penting terjadi di gedung yang berarsitektur gaya Yunani kuno dan telah berusia 217 tahun itu.

Buku Istana Kepresidenan Republik Indonesia (2004) menuliskan, Istana Negara menjadi pusat pemerintahan penjajahan kolonial Belanda. Di tempat itu, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen menerima paparan strategi Jenderal De Kock dalam menghadapi Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol. Di Istana itu pula Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch merumuskan dan menetapkan sistem tanam paksa. Pada 25 Maret 1947, Istana Negara menjadi tempat penandatanganan persetujuan Linggarjati.

Pada era kemerdekaan, Istana Negara jadi salah satu pusat pemerintahan dan penyelenggaraan kegiatan resmi kenegaraan. Rapat kerja nasional, jamuan kenegaraan, dan pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara banyak dilakukan di sana. Sejak Indonesia merdeka, mungkin tak kurang dari 1.000 pejabat yang dilantik atau mengucapkan sumpah jabatan di sana, mulai dari pimpinan lembaga negara, menteri, wakil menteri, hingga badan atau lembaga setingkat menteri.

Satu hal menarik dalam pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan itu adalah substansi dari sumpah/jabatan itu sendiri. Simak naskah sumpah/ janji jabatan yang biasa diucapkan berikut ini.

"Demi Allah saya bersumpah/ berjanji, bahwa Saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung ataupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak memberikan atau menjanjikan, ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapa pun juga.

Bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapa pun juga, langsung ataupun tidak langsung, suatu janji atau pemberian.

Bahwa saya setia kepada UUD 1945, dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara republik Indonesia.

Bahwa saya akan setia pada nusa dan bangsa, dan akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan ini.

Bahwa saya akan menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara."

Jika diringkas, isi sumpah jabatan itu terdiri dari lima hal, yakni tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun, tak menerima janji atau pemberian dari siapa pun, setia pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, setia pada nusa dan bangsa, serta menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.

Dari situ terlihat, ikrar untuk tidak korup atau menyalahgunakan jabatan ditempatkan di poin pertama dan kedua. Setelah itu, baru komitmen untuk setia pada konstitusi dan bangsa dan terakhir menyangkut pelaksanaan tugas. Jika sumpah jabatan itu dihayati dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh, logikanya tak ada pejabat di negeri ini yang korupsi atau menyalahgunakan jabatan. Namun, realitanya, masih ada pejabat yang dulu mengucapkan sumpah/janji itu di Istana Negara yang justru terjerat kasus korupsi.

Tak heran jika mereka yang dulu bersumpah suci itu, setelah tersangkut perkara korupsi akan menuai sumpah serapah dari rakyat. Jadi, hati-hatilah menjaga sumpah yang pernah diucapkan itu! (C Wahyu Haryo)
Sumber : Kompas Cetak,  Kamis, 17 Oktober 2013(http://nasional.kompas.com/read/2013/10/17/1033299/Sumpah.Serapah.Pejabat.Negeri)

Monday, 14 October 2013

Banyak Orang Pintar, tetapi Tidak Terdidik

SEMARANG, KOMPAS.com — Pola pendidikan formal yang selama ini mengedepankan pengajaran dengan prestasi sebagai ukuran patut dikaji ulang. Pengajaran itu menghasilkan anak-anak pintar, tetapi tidak terdidik dan lemah budi pekerti. Akibatnya, bisa seperti saat ini, meski berpendidikan tinggi dan mengaku beragama, sejumlah pemimpin berbuat sangat memalukan dan menimbulkan ketidaktenteraman di tengah masyarakat.

Keprihatinan ini disampaikan budayawan dan pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), dalam seminar nasional Mengembangkan Spiritualitas dalam Keluarga dalam rangka Dies Natalis Ke-56 Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Rabu (9/10/2013), di kampus Undip, Tembalang. Turut berbicara budayawan dan mantan Rektor Undip Eko Budihardjo dan Ketua Ikatan Psikologi Klinis Jateng Hastaning Sakti.

Menurut Gus Mus, sejak Orde Baru, ia tak melihat di sekolah-sekolah, kecuali taman kanak-kanak, apa yang disebut pendidikan. "Jangan heran sekarang banyak orang pintar, tetapi tidak terdidik. Bagaimana mau mengatakan orang itu terdidik kalau ia menduduki puncak kedudukan paling mulia, paling bermartabat, dan ditangkap KPK," tuturnya.

Gus Mus mengungkapkan, orang pandai atau pintar kalau tidak terdidik akan sangat menjengkelkan. "Kalau orang pintar yang mencuri, menangkapnya sulit. Sudah tertangkap, mengadilinya sulit, divonis masuk penjaranya sulit, dan kalau sudah masuk penjara masih bisa keluyuran," katanya.

Ia mengajak siapa saja untuk ingat bahwa hidup sekadar singgah. Jika lupa, itu bisa sangat merugikan diri sendiri dan negeri.

Eko Budihardjo mengajak memaknai kehidupan, misalnya dari ungkapan-ungkapan Jawa. Ada ungkapan ngono yo ngono, ning ojo ngono (jangan berlebihan atau serakah). "Korupsi sampai miliaran, triliunan, itu keterlaluan," ucapnya.

Eko mengibaratkan urip iku urup (hidup itu seperti terang), dalam kehidupan, tiap orang seharusnya berarti bagi orang lain. Sejak dini, penting mengenalkan anak-anak agar berbuat sebaik mungkin kepada orang lain. (SON)
Sumber : Kompas Cetak, Kamis, 10 Oktober 2013